Selasa, 09 Desember 2008

Manajemen Media

Nama :Andi Dwi P/ 153060043

SIKLUS HIDUP MEDIA CETAK TEMPO

Koran Tempo merupakan salah satu media surat kabar harian yang lahir pada pertengahan 60an yang berawal ketika mahasiswa ingin menggulingkan pemerintahan Soekarno. Format pertama dari Tempo berkiblat pada Time, hal ini dikarenakan pemilik Tempo pernah magang di Eropa. Karena skala pangsa pasarnya nasional, dan pada saat itu juga belum terdapat banyaknya surat kabar sehingga Tempo memiliki custumer yang jumlahnya tidaklah sedikit.
Kerena semakin lama terus mengalami peningkatan oplah produksi yang signifikan, akibat dari keberhasilan promosi yang pada saat itu yang contentnya mengutamakan bidang politik dan ekonomi dengan kredibilitasnya, maka tidak jarang media ini sering juga disebut sebagai media pembaharuan dan pembangunan.
Puncak kajayaan media ini sekitar tahun 1980an (dicetak 190.000 perhari) yang mana bukan hanya meningkat dari sisi finansial saja, namun ancaman dan masalah sebagai konsekuensi dari konstruksi media itu telah membawa media ini sempat mengalami dilema dan terpaksa berurusan dengan meja hijau. Siapa yang tidak mengetahui cara pemberitaan Tempo, Tempo dalam membawakan suatu info dimata masyarakat dikenal sebagai media indepth report, tajam, dan berani beda. Oleh karena itu, Tempo terkadang kurang memperhatikan etika-etika sebagai kaidah yang harus ditaati jurnalistik pada masa itu. Regulasi pemerintah yang direkonstruksikan dalam undang-undang seakan-akan hanya dipersepsikan sebagai sebuah formalitas belaka.
Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kasus-kasus tempo yang banyak diekspos baik oleh media cetak maupun elektronik. Hal yang menarik adalah ketika tempo memandang suatu peristiwa yang pada saat itu mempunyai korelasi dengan institusi internalnya sendiri. Manifestasi pembelaan pun terlihat dan karena hebatnya, tempo dapat memanfaatkan medianya sebagai media advokasi dan mencoba menempatkan dirinya sebagai media yang bersih dan tidak bersalah. Untuk membantu analisa ini, mungkin kita dapat sedikit flash back ke beberapa tahun lalu, dimana pada saat itu Tempo terkena kasus pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Tomy Winata seorang pengusaha besar terkait dengan terbakarnya pasar Tena Abang yaitu dengan tema pemberitaan “Ada Tomy Winata di Tena Abang”. Asumsi yang mendasari tulisan itu adalah ketika Tomy terkait dengan proyek renovasi dan relokasi pasar tena abang. Karena penghuni pasar mayoritas menolak, paginya pasar tena abang terbakar. Karena proses investigasi polisi belum selesai sehingga tidak ada media yang berani menulis fenomena itu kecuali Tempo. Akibat hal tersebut, maka akhirnya kasus tersebut terpaksa berakhir ke meja hijau. Apakah karena naluri ataukah tuntutan dari idiologi media yang membuat jurnalis tidak menghiraukan asas praduga tak besalah. Selain itu, terlambatnya waktu terbit juga menjadi salah satu masalah produksi di masa itu.namun untuk menghindari ancaman tersebut, maka menggunakan sistem “pool" uang sebesar sebulan gaji yaitu wartawan yang paling produktif akan mendapatkan gaji tambahan,dan ternyata cara ini cukup efektif.
Dengan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa tempo merupakan sebuah media yang benar-benar sangat mengutamakan idiologi dan jati dirinya sebagai media yang kredibel. Meskipun sering terkena kasus, namun Tempo tetap masih eksis di masyaraat. Manjadi media yang cukup lama dikenal dan dinikmati masyarakat menjadi salah satu alasan kenapa pangsa pasarnya cukup besar. Walaupun loyalitas tersebut terkadang mengancam keberlangsungan media itu sendiri, namun bagi Tempo loyalitas merupakan hal yang utama.
Selain itu Tempo sekitar tahun 1974 pernah mengalami stagnan, dimana saat itu media tersebut dicabut SIUPPnya akibat terlalu keras dalam mengkritik pemerintahan Soeharto. Namun, karena gigihnya media ini mampu melewati masa krisis dan bangkit lagi (setelah dibredel membuat majalah mingguan ekspress, namun media ini umurnya tidak lama kemudian kembali lagi merintis tempo yaitu dengan cara lobby dengan para pejabat tinggi negara). Sehingga Tempo dapat kembali terbit dengan wajah barunya namun tetap dienal oleh masyarakat khususnya para custumer.
Krisis tidak selalu bedampak negatif, ini dapat dibuktikan tempo kepada masyarakat. Tergantung dari media itu sendiri bagaimana mengelola dan mengolah konflik yang ada. Apabila konflik dapat mereka sinergikan secara benar, maka konflik bisa menjadi sebuah referensi (kekuatan) bagi media itu sendiri sebagai suatu modal (non finansial) yang dapat memperkuat jati diri dalam menghadapi ancaman-ancaman dimasa yang akan datang.

1 komentar:

Subhan Afifi mengatakan...

Selamat Mas.. blognya bagus, tulisannya juga informatif dan inspiratif. Terus diupdate dengan tulisan dan analisis terbaru ya...
Fitur-fitur lain di blog bisa ditambahkan. Warnanya mungkin dipilih yang lebih soft di mata. Biar sejuk ngeliatnya... Kalau merah menyala jadi pedih deh..

Ok selamat berkarya !
Afifi